Kemarin saya baru saja menghadiri seminar sehari TV digital di gedung BPPT, Thamrin. Topik bahasan masih seputar penjelasan teknis, regulasi, model bisnis dan juga andil BPPT dalam migrasi ke siaran digital. Dijadwalkan, siaran simulcast (siaran berbarengan antara sinyal analog dan digital) akan dimulai tahun 2010 besok dan diakhiri di tahun 2017 nanti, dan selepas 2017 tidak ada lagi penyiaran analog di tanah air (analog cut-off). Kali ini saya ingin berbagi soal hal-hal yang sedang dan akan dihadapi dunia penyiaran jelang masa simulcast tahun depan.
Hadir sebagai pembicara diantaranya wakil pemerintah (Kominfo), Lembaga Penyiaran (TVRI dan konsorsium) serta peneliti BPPT. Disampaikan bahwa masa migrasi ini diistilahkan adalah peristiwa yang tidak akan terulang lagi, dimana sejarah akan mencatat babak perpindahan sistem penyiaran analog ke digital. Migrasi yang tidak bisa ditolak karena perkembangan teknologi tak bisa dibendung, dan juga membuka kemungkinan konvergensi penyiaran dengan akses data, telekomunikasi serta hiburan. Migrasi yang didukung pemerintah karena memberikan jalan keluar bagi padatnya kanal analog eksisting yang membuat runyam perizinan frekuensi.
Pemerintah sudah menetapkan standar DVB-T sebagai standar yang dipakai untuk TV digital di Indonesia dengan konsep pemancaran yang masih sama yaitu berbasis terestrial di kanal UHF dan free-to-air. Untuk bisa menerima siaran digital, diperlukan alat tambahan bernama STB (Set-Top-Box) alias dekoder yang dihubungkan ke antena UHF biasa. Nantinya, setiap televisi yang dijual di tanah air sudah mampu menangkap siaran DVB-T tanpa bantuan dekoder lagi.
Keuntungan siaran DVB-T cukup jelas, yaitu kualitas gambar dan banyaknya fitur tambahan seperti jadwal acara, info cuaca dsb. Meski demikian, bukan hal yang mudah untuk menjelaskan ke publik kalau mereka cepat atau lambat harus menyiapkan diri untuk beradaptasi dengan teknologi baru ini. Bagi kebanyakan orang, bisa jadi lebih baik berkompromi dengan siaran analog yang kurang baik daripada membeli STB yang tidak murah itu. Disinilah nanti kita akan menilai apakah migrasi ini bakal sukses atau tidak.
Saat ini siaran uji coba masih berlangsung di Jabotabek dengan lokasi pemancar di wilayah Joglo, Jakarta Barat. Dua konsorsium yang sudah mengantongi izin yaitu TVRI dan KTDI sudah mengudara dengan daya cukup kecil, dengan hasil yang cukup baik. Ada keluhan bagi pengguna yang menerima DVB-T dalam kondisi bergerak, demikian juga dengan yang tinggal dibalik benteng gedung tinggi. Nantinya kendala ini akan teratasi dengan penambahan gap-filler (pemancar kecil untuk mengisi blank-spot) di beberapa lokasi karena modulasi digital menganut prinsip SFN (Single Frequency Network) layaknya sinyal BTS milik seluler.
Konsep penyiaran digital versi pemerintah
Kominfo saat ini sedang menyusun aturan main dan konsep bisnis untuk konsep penyiaran digital (mereka menyebutnya TVB-TT). Dalam konsep pemerintah, nantinya sebuah konsep penyiaran digital akan terbagi dalam banyak bagian yang terlibat, yaitu :
- penyedia konten (seperti PH)
- penyelenggara program siaran (stasiun TV)
- penyelenggara multipleksing
- penyelenggara transmisi (yang memiliki menara)
Dari konsep diatas nampak kalau nantinya stasiun TV bisa memancarkan siarannya melalui pihak ketiga, sehingga pihak ketigalah yang fokus pada urusan DVB-T beserta segala perizinannya. Dengan begitu diharap akan banyak bermunculan TV baru dan disisi lain diharap siaran digital ini cukup memakai satu menara bersama. Multipleksing sendiri artinya penggabungan, atau menggabung beberapa siaran TV dalam satu kanal. Konsep ini didasarkan pada fakta bahwa untuk modulasi digital DVB-T, satu kanal UHF bisa diisi hingga 6 stasiun TV. Bahkan komposisi multipleks ini bisa dibuat gabungan siaran DVB-T dan akses data, atau komunikasi data.
Masalah-masalah yang perlu dicari solusinya
Migrasi ke digital yang diawali dengan siaran simulcast ini memang sesuatu yang baru yang akan kita songsong bersama. Untuk itu pastilah akan timbul banyak masalah yang bisa dicarikan solusinya. Menurut saya, beberapa masalah yang saya tangkap adalah :
- regulasi atau payung hukum siaran DVB-T masih belum mengakomodir kepentingan banyak pihak (industri, masyarakat dsb)
- perlu waktu lama untuk mewujudkan konsep multipleksing, mengingat konsep siaran sekarang tiap TV punya menara sendiri
- kendala luasnya wilayah Indonesia dan kontur geografisnya yang tidak mudah, perlu penyusunan wilayah jangkauan siaran yang tepat bermodel komputer 3D
- masyarakat Indonesia yang beragam dalam hal sosial ekonomi, masih perlu studi akan kesiapan masyarakat terhadap teknologi baru
- dalam urusan produksi STB oleh industri lokal (Polytron dsb), mereka beresiko disaingi oleh produk impor selundupan yang dijual murah
- perlu adanya konsolidasi antar lembaga dan peneliti untuk mendukung migrasi ini, semisal BPPT, dunia akademis dan industri lokal
- tidak mudah meminta stasiun TV untuk melepas kepemilikan akan aset yang sudah dimiliki di seluruh Indonesia (tanah, bangunan, pemancar analog, menara) termasuk ratusan SDM yang bekerja didalamnya.
Sumber : http://gaptek28.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar